Aku baru tahu, bahwa malam kian
datang membawa sendu yang mendalam saat melamunkan sebuah kerinduan. Walau aku
mencoba melarai kesedihan dan mengutuk semua air mataku yang menetes, hanya ada
sebuah sayatan yang melukai hatiku. Hati seorang wanita yang tak berdaya dan
rapuh serupa kertas yang remuk, tak dihiraukan dalam ketidak berdayaan.
Salahkah bila aku memulai kehidupan
remajaku, kehidupan sebagamana gadis pada umumnya. Jatuh cinta dan menaruh
harapan pada kekasih. Atau apakah memang perlu ada rasa sakit dalam menjalin
asmara, apakah asmara itu sebenarnya hanya kata-kata saat jatuh cinta.
^^^
Siang yang melelakan, saat harus
mengikuti les tambahan dan duduk kembali sembari memperhatikan guru. Taklama
setelah menit-menit berlalu, Hpku bergetar menandakan ada pesan masuk.
“ka, ntar kamu pulang jam berapa?,
aku jemput ya?”, oh, ternyata SMS dari Putra.
Jantungku berdebar tak sepeti
basanya, pelan-pelan aku mengetik di Hpku dan tak butuh waktu lama untuk
menjawab pertanyaan Putra sembari meng-iyakan tawarannya.
“Oke, deh. Ntar aku jemput”,
balasnya kembali dari seberang sana.
Suasana hatikupun kembali hening.
Walau guru sibuk menjelaskan di depan kelas, aku hanya fokus pada Putra yang
tadi mengirimi aku pesan. Pesan yang mampu mengusir rasa bosan di siang hari
ini.
Taklama les tambahan usai, walau
agak dag-dig-dug tapi aku masih
menunggu kedatangan Putra. Mungkin sebentarlagi dia datang atau tidak sama
sekali.
Sembari menunggu aku melihat awan
mengelabu, sepertinya titik hujan akan turun sebentar lagi. Menetes membuai
kemarau yang cukup berkepanjangan, seperti perasaan gundah akan kemelut yag tak
beralasan. Henhh.
“TINNNN,TINNN”, suara klakson matic.
Seketika aku tersentak dari lamunanku. Terlihat putra
tersenyum menanpakkan wajahnya dari atas metic miiknya. Akupun kembali membalas
senyumnya, hanya dengan sedikit melirik ke arahnya.
“yuk, kita pulang ka!”, ajaknya
dengan ramah.
Aku hanya menganggu, tanda setuju.
Tak membuang banyak waktu akupun naik kemudian Putra menjalankan maticnya.
Kamipun berboncengan menyusuru senja yang di selimuti mendung. Hatiku
berbunga-bunga, ditambah lagi dengan suasana sejuk hembusan angin yang membuat
rambutku melambai tak beraturan.
“Ka, gimana lesnya tadi?”, tanya
Putra sembari melirikku dari kaca sepion.
“biasa aja kok. Yah, walau tadi agak
nyebelin dikit”, jawabku perlahan.
“terus sekarang, masih belum hilang
sebelnya?”, di kembali bertanya, walau arah pertanyaan itu entah kemana.
“ya, kayaknya udah hilang”, jawabku
penuh suka.
Putra tampak sedikit tertawa,
mungkin jawabanku membuatnya geli atau mungkin tawanya hanya untuk menghiburku.
“oia, ntar malam kita jalan yuk!”
“kemana, put?”
“yah, Riska maunya kemana?”
“ye, yang ngakjak putra. Kok malah
nanyak ke Riska!”, balasku sedikit ketus.
Pembicaraanpun akhirnya melebar,
walau awalnya aku sedikit ketus namun lama-lama putra mampu meleraiku dengan
kata-katanya. Walau kami baru saling kenal tapi sepertinya aku merasa ada
kedekatan yang tidak kumengerti. Mungkin
terbawa suasana senja yang semakin mendung atau apa lah.
^^^
Malampun akhirnya kembali meyelimuti
senja dengan gelap dan taburan bintang serta sinar bulannya. Kami berdua duduk
di sebuah tempat nongkrong kaki lima, walau begeitu aku masih belum merasakan
apa yang sebernanya ia mau dan kenapa harus malam ini yang putra pilih untuk
keluar.
Diapun melirikku dengan senyum yang sama, senyum saat kami pertama
kali saling kenal dan senyum sore tadi saat ia menjemputku pulang. Masih sama
dan sepertinya mataku mulai terbiasa dengan senyuman itu.
“ka, kenapa kok melamun aja?”
“enggak kok!”
Putrapun diam sejenak, agak lama
tapi entah apa yang membuat dia merikku dengan tatapan yang cukup serius.
Awalnya aku bingung dan sedikit bertanya heran. Namun sebelum aku bertanya
padanya, ia mendahului aku dengan memengang tanganku dan bertanya.
“ka, apa malam ini kamu nyesel
ketemu aku?”
“enggak kok!”, jawabku masih
bingung.
“aku sayang sama kamu ka dan aku mau
kita jadian, menurut kamu gimana?”
Dia kembali memposisikan aku pada
tempat yang sulit, walau aku menyukainya dari pertama kali kami kenal tapi
sepertinya bukan malam ini waktu yang pas untuk dia menyatakan perasaanya. Dia
sendiri tahu kalau kami sama-sama kelas sembilan dan sebentar lagi UN. Bukannya
memberi semangat malah ngajakin kencan.
“iya,
ika juga sayang putra kok”, jawabku dengan rasa bingung yang bercampur bahagia.
Tiada lagi kata yang paling indah
aku rasa terkeculi menerima cintanya dengan mengatakan “Iya”. Malam itu adalah
malam pertama kami jalan sebagai pacar, yah setidaknya dia lebih baik dari pada
pacar-pacarku sebelumnya.
Sebelumnya, belum pernah ada lelaki
yang berani seperti putra. Langsung menyatakan cinta tanpa perantara, bisannya
mereka hanya berani menyatakan cinta lewat SMS, BBM, atau facebook. Yah,
mungkin Putra serius dengan ucapannya.
Kamipun menjalani hubungan kami dengan baik,
awalnya aku tak pernah berfikir untuk serius menaggapi perasaan Putra karena
aku hanya mengangap ia sekedar main-main. Mungkin anggapan itu salah, tanpa ku
sadari aku terseret dalam perasan yang sulit untuk ke jelaskan. Yah, dia begitu
ulet dan penuh dengan ketulusan dalam menghiasi hari-hariku walaupun sebelumnya
sangat membosankan.
****
Rasanya aku tertidur pulas tadi
malam namun saat aku bangun dan melirik ke arah jam dinding, ternyata masih
sangat dini untuk bangun dan mandi. Ayam belum berkokok membangunkan mentari,
kabut hitam masih menyelimuti bersandar dengan hawa yang berhembus dingin.
“Dringsssssss”, Hpku berdering.
Gila, masih jam tiga pagi dini hari
ada SMS masuk. Apa yang sangat penting dari sebuah pesan sedini hari. Atau ada
kabar yang sangat darurat sehingga dia tidak menghiraukan pagi. Menjawab rasa
penasan itu, akupun meraih HPku dan melihatnya.
“Sayang, dari balik layar ini aku
menyapamu. Aku kabarkan pada pagi yang masih dingin bahwa aku menyayangimu.
Riska, walau mentari belum terbit tapi hari telah berganti tanggal, aku hanya
ingin mengatakan padamu. Happy anive one
month.”
Usai
menbaca pesan dari putra aku tersentak, segitu ingatnya dia dengan tanggal dan
bahkan ia menghitung sampai hari ini. Untuk hubungan yang masih satu bulan,
mungkin memang ia puitis tapi yang jelas
aku cukup senang.
Mengisi bulan kedua hubungan kami
UN-pun seakan tidak kalah mewarnai, acap kali kami saling berbalas pesan saling
memotivasi dan saling mengerti. Namun kini aku menyukai les tambahan sepulang
sekolah, mungkin karena selalu ada putra dan maticnya yang setia menjemputku.
Akankah ini berakhir dengan indah
seperti meme comic yang sedang
ngetren di SOSMED atau adakah hal buruk yang bisa membuat semua perasaan ini
berubah. Apapun itu yang jelas masih jauh di depan.
^^^^
Alhamdullilah UN selesai dengan
baik, akupun lulus begitujuga dengan putra. Walau temen-temenku kebanyakan yang
sibuk memperbincangkan rencana kuliah mereka, aku tetap berdiam diri
mengkerutkan kening sembari berfikir. Apakah mungkin bagiku untuk kuliah dan
kalaupun “iya” harus kuliah dimana.
Sebaliknya terjadi pada Putra, dia
lebih mantap dan kekeh dengan cita-citanya ingin jadi polisi. Aku menaruh rasa
yang sangat besar pada cita-citanya, apalagi putra terlihat sangat bahagia
dengan itu.
Akupun sering ikut dengannya, baik itu
menemaninya joging, berenang atau kegiatan latihannya yang lain. Semuanya
terasa semakin indah, aku merasa sangat lekat dengannya dan merasa telah menjadi bagian dari dalam hidupnya.
Namun tiba-tiba saja kami
bertengkar. Awalnya aku hanya mengirim pesan padanya, sesekali pesan itu tidak
di balasnya atau mungkin tidak ia baca. Tapi akhirnya keseringan. Akupun
mencoba sedikit menyindirnya.
“sayang, mungkin aku terlalu egois.
Tapi aku tidak suka sikap cuekmu”
Sayang sekali, pesan itu lagi-lagi
hanya bersarang di Hpnya, tidak ada balasan. Akupun memutuskan untuk menelfon.
“assalamualaikum”, sapaku dengan
nada jengkel
“waa’alaikumsalam”, balasnya dengan
nada yang lembut.
Awalnya aku sedikit basa-basi dan
belum sempat aku menanyakan dengan sikapnya yang cuek, Putra langsung membuat
suasana menjadi tidak enak.
“aku lagi capek, Ka!, jadi enggak usahala kita ngomongin soal sikap aku
yang cuek!”
“terus, apa aku ini enggak capek!”
“maksudmu apasih?”
“put, kamu kan tahu kalau kita
pacaran!”
“iya, terus apa?”
“terus apa begini sikap seorang
pacar degan ceweknya”
“jadinya, emang ika perduli dengan
kesibukan aku?”
Pembicaraan kamipun semakin memanas,
aku malas berlik pada posisi yang dipertanyakan. Awalnya aku ingin mengetahui
apa yang membuat puta cuek. Sembaliknya terjadi Putra malah marah dan semakin
buas tak tentu arah pembicaraanya.
Akupun menyesali pembicaraan malam
ini, sepertinya dia telah asing bagiku. Ia berubah seperti predator, selain
kasar tampaknya ia tidak perduli. inikah rupanya yang asli, atau mungkin ia
terlalu setres karena latihannya dan ambisinya.
Aku
sangat sedih, ini adalah malam pertama aku menangisi hubunganku. Sedikit sekali
kemungkinan bagiku untuk sadar akan kepiluan perasaanku, Putra walau dia tampak
serius dengan hubungan ini pada awalnya tapi keseriusan ini berbalik dengan
sikapnya yang cuek.
(b e r s a m b u n g)
From : Nura Rahmadani